Kamis, 06 Juni 2013

Malam-Malam di Medan



Medan merupakan kota yang majemuk. Keberagaman etnik dan budaya masyarakatnya itu tercermin dari sajian makanan yang beraneka ragam. Kelebihan itu memberi dampak positif karena citarasa makanan khasnya dapat dinikmati lidah setiap orang, bahkan pendatang. Anugerah tersebut dimanfaatkan betul oleh masyarakatnya. Hampir di setiap sudut kota kita jumpai tempat jajanan dengan konsep-konsep yang istimewa.
 Ya, Medan adalah surga makanan.

Pukul empat sore, penulis bersama rombongan baru saja tiba dari Brastagi yang dingin. Setelah rehat sejenak, kami bersiap untuk menyusuri sudut-sudut kota Medan di waktu malam. Berkeliling kota dengan becak khas kota itu sebuah pilihan yang bijak. Sebab, pengemudinya bisa menjadi pemandu yang tepercaya.

Di Medan, kita tak perlu khawatir mencari tempat untuk sekadar melepas penat. Ingin jajanan malam, pergilah ke semua sudut kota, mulai dari yang pinggiran sampai ke jantung kota. Sebagai saran, mulailah dari titik nol kota Medan, yaitu Lapangan Merdeka Medan. Di sana ada Merdeka Walk, yang juga dilengkapi dengan permainan anak-anak.


Merdeka Walk merupakan salah satu objek wisata kuliner yang menawarkan konsep ”food, fun and leisure”. Kalau tak sedang musim hujan, kita bisa menikmati santapan dalam udara terbuka, di bawah langit cerah penuh bintang. Kalau bulan sedang purnama, wah sangat eksotis.

Merdeka Walk yang dibangun oleh PT Orange Indonesia dengan dukungan Wali Kota Medan itu berada di sisi barat Lapangan Merdeka dan menggunakan lahan seluas 6.600 meter persegi. Penataannya yang modern plus suasana asri dan sejuk karena masih terjaganya kelestarian pepohonan yang tumbuh di sekitarnya, akan membuat kita betah berlama-lama sembari menikmati sajian aneka hidangan mulai dari masakan tradisional, China, atau Barat.

Malam itu, sekitar pukul 20.00, kami sampai di tempat makan yang dikenal sebagai lambang gaulnya kota Medan. Merdeka Walk memang berbeda dari kebanyakan mal. Kalau umumnya mal modern berdiri garang menjulang ke angkasa, bangunan Merdeka Walk membentang melebar di atas tanah terbuka, tanpa penyejuk udara, dan menyediakan tempat berjalan kaki yang luas.

Akses menuju kawasan itu pun cukup mudah. Kendaraan umum hilir-mudik di depan Merdeka Walk. Yang membawa kendaraan pribadi bisa leluasa memarkir kendaraan. Sebab, tempat parkir kawasan itu mengelilingi Lapangan Merdeka.

Karena berada di tempat terbuka dan cukup luas, Merdeka Walk terasa lega dan lapang. Apalagi berada di jantung kota yang punya sejumlah bangunan tua. Sembari menunggu pesanan makanan datang, kita bisa melemparkan pandangan ke arah bangunan tua, saksi bisu perkembangan kota itu.

Di depan Merdeka Walk, di seberang jalan, beberapa gedung bersejarah berdiri kukuh dengan masih menyisakan arsitektur khas Belanda setelah renovasi di sana-sini, seperti Gedung PT London Sumatra, Gedung Wali Kota Medan, Hotel Darma Deli, dan Gedung Kantor Pos.

Merdeka Walk juga dekat dengan Menara Air Tirtonadi (yang merupakan ikon kota Medan) dan Titi Gantung, sebuah jembatan di atas rel kereta api, serta kawasan Kesawan, yang juga memililiki bangunan dan rumah-rumah toko tua seperti yang bisa ditemukan di Pecinan dan Kota Lama Semarang.

Kawasan Kesawan sebenarnya lebih dulu diorbitkan Pemerintah Kota Medan sebagai pusat jajanan malam Kota Medan. Satu jalan sengaja ditutup dan digunakan sebagai tempat orang menjajakan makanan atau yang biasa disebut sebagai Kesawan Square.

Agak jauh dari Lapangan Merdeka, masih ada beberapa bangunan bersejarah, seperti Masjid Raya Medan dan Istana Maimun. Istana ini masih mempertahankan tradisi membagi-bagikan bubur khasnya itu kepada jamaah setiap Ramadan.

Berkeliling kota Medan tidak lengkap kalau kita tidak menyusuri jalan Ahmad Yani yang merupakan kawasan Pecinan di Medan. Berada pada inti kota yang dulu dikenal dengan nama ”Kesawan”, jalan tersebut merupakan daerah pertokoan dan pusat bisnis pada siang hari, dan pada malam hari menjadi tempat berjualan berbagai jenis makanan khas kota. Jika Yogyakarta memiliki Malioboro dan Bandung punya Braga sebagai kawasan yang menjadi ciri khasnya, maka warga Medan boleh berbangga diri dengan Kesawan sebagai ikon baru yang menjadi ciri khas kota.

Selain kawasan Kesawan Square yang mulai kalah bersaing dengan Merdeka Walk, di sana terdapat bangunan bangunan tua yang bersejarah. Ada sebuah bangunan rumah etnis kuno dengan pintu gerbang yang besar dan berpintu kayu tua dan dua lampu lampion tergantung menyala indah di depannya. Nuansa Pecinan seperti terwakili oleh rumah tersebut.

Rumah siapa itu? Rumah itu peninggalan Tjong A Fie. Bangunannya indah.Bentuk pintu gerbangnya terlihat etnikal, dengan ukir-ukiran khas China. Pun lampionnya, tergantung anggun, seperti di film-film silat Mandarin zaman dulu.

Yang pasti, Kesawan betul-betul masih membawa napas Kota Medan zaman dulu, ditandai dengan bangunan-bangunan lama berarsitektur perpaduan gaya Tionghoa dan kolonial Belanda. Beberapa bangunan yang menjadi ciri khas Kota Medan terdapat di area ini, termasuk rumah Tjong A Fie, jutawan tembakau di tahun 1910.

Siapa Tjong A Fie? Dia adalah Mayor China di Medan, seorang miliarder pertama di Sumatera. Hingga kini namanya terus dikenang di Kota Medan, meski dia sudah meninggal pada tahun 1921. Pada Tahun 1870 Tjong A Fie dan kakaknya, Tjong Yong Hian meninggalkan Desa Moy Hian, Kanton di daratan China untuk merantau ke Tanah Deli sebagai kuli kontrak di perkebunan Tembakau.

Kakak beradik ini sangat jeli melihat peluang bisnis. Pada suatu kesempatan mereka tinggal menetap di ibu kota Labuhan Deli dan membuka kedai dengan nama Ban Yun Tjong. Tjong A Fie tahu betul kebutuhan kuli-kuli China dan perantau lainnya yang baru tiba di Tanah Deli sehingga dalam waktu singkat saja dia sudah jadi kaya raya. Keberhasilan usahanya semakin bertambah.

Sampai saat ini bangunan tua bersejarah yang berada di areal Kesawan adalah merupakan tempat tinggal keluarga Tjong A Fie dan keturunannya yang kali pertama dibangun di kawasan tersebut. Gedung tua ini menggambarkan budaya sekaligus keuletan kelompok etnis Tionghoa yang sejak ratusan tahun menetap di Tanah Deli. Gedung tua yang berada di Kesawan (Tapekongstraat) ini milik Tjong A Fie, sahabat dekat Sultan Deli.

Jangan Lupa Bika Ambon dan Durian

Orang bilang, kita belum bisa dikatakan pergi ke Medan kalau belum makan bika Ambon. Itu memang oleh-oleh khas kota tersebut selain sirup markisa dan terong Belanda. Pusat jajanan yang menjajakan semua cangkingan itu ada di Jalan Mojopahit. Di sana berjajar toko penjual bika Ambon.

Jika naik bentor (becak motor), kita tinggal bilang mau ke Jalan Mojopahit, maka pengemudinya langsung tahu yang kita maksud. Para sopir bentor itu sudah punya langganan masing-masing karena mereka akan mendapatkan fee dari toko yang mereka rujuk.

Konon, bika Ambon paling enak dijual di toko jajanan Zulaeha. Penulis meluncur ke sana dengan bentor. Di situ, ada beberapa macam bika Ambon. Ada yang standar, rasa cokelat, pandan, dan keju. Yang tidak sempat untuk mampir ke sentra bika Ambon, dapat membeli oleh-oleh itu di toko-toko dekat hotel maupun beberapa pertokoan di bandara.

Setelah beroleh bika Ambon, rasanya sudah tiba saatnya untuk berburu buah durian. Yup, buah berduri asal Medan ini memang terkenal di seantero negeri. Apalagi tatkala musim durian telah tiba, harganya bisa jauh lebih murah lagi dibanding saat belum musimnya. Musim buah durian biasanya pada bulan November sampai Februari.

Nah, untuk menikmati rasa buah yang manis dengan ada rasa pahitnya ini kita tak perlu repot karena banyak penjualnya di sejumlah ruas jalan Kota Medan. Namun tempat yang paling pavorit antara lain Jalan Iskandar Muda (Pasar Pringgan), Jalan Bogor di persimpangan Jalan Semarang, Jalan Pelajar, dan masih banyak lagi sentra buah durian. Di Jalan Pelajar ini sering kali puluhan mobil pikap menurunkan buah durian dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Para pedagang durian umumnya mengambil durian dari mobil itu sebelum dijual kembali.

Untuk harga satu buah durian, kita bisa dapatkan hanya dengan Rp 4-10 ribu saja. Rasanya? Jangan ditanya. Jangan ragu-ragu menjadikan durian sebagai oleh-oleh keluarga di rumah. Mereka menyediakan boks-boks dalam berbagai ukuran. Ada yang kecil, sedang, dan besar.

Soal harga tentu bervariasi sesuai dengan bentuk boks. Untuk boks kecil mereka mematok harga Rp 100 ribu, boks sedang Rp 150 ribu, dan boks besar Rp 200 ribu. Itu semua masih bisa kita tawar. Semakin pintar menawar, pasti semakin murah harganya.

Mereka pun memberikan jasa gratis mengepak boks tersebut menjadi rapi. Rapat dan sangat kedap udara agar bau durian tidak keluar membaui lingkungan sekitar. Karena memang buah Durian dilarang dalam perjalanan dengan pesawat udara, maka kita harus pandai untuk mengepak agar baunya tidak ke mana-mana. Boks digulung rapat-rapat dengan lakban sebelum dimasukkan ke dalam plastik yang telah di isi irisan daun pandan. Setelah itu boks dimasukkan ke dalam kardus yang juga ditaburi bubuk kopi. Dengan demikian, aroma buah durian sudah tidak dapat lagi dibaui orang yang ada di sekitarnya.

Sumber: SuaraMerdeka
foto : tripadvisor.com, tirong, bakeryindonesiamag, pemkomedan, kun.co.ro

Tidak ada komentar: