Sabtu, 13 April 2013

Kebun Raya Cibodas





Menyebut Cibodas, pikiran akan melayang pada bayangan daerah hijau bergelombang dengan latar dua puncak gunung. Cibodas memang adalah salah satu daerah tujuan wisata. Sepanjang waktu, terlebih di musim libur, daerah ini selalu ramai dikunjungi, khususnya Kebun Raya Cibodas (KRC) yang legendaris itu. Sayang, kebun ini baru dianggap sebagai taman rekreasi, bukan sebagai tempat koleksi flora pegunungan terlengkap, dan juga bukan sebagai kebun penelitian. Jika ditangani secara sungguh-sungguh bukan tidak mungkin wisata arkeologi akan mendapat tempat di dunia pariwisata. Selama ini wisata arkeologi agaknya hanya bertumpu pada Candi Borobudur. Padahal sebenarnya peninggalan-peninggalan arkeologi di Indonesia sangat banyak jumlah dan ragamnya.

Di musim libur, karpet hijau KRC nyaris tertutup oleh alas pengunjung. Dari catatan pengelola, setiap tahun KRC dikunjungi tidak kurang dari satu juta orang. Hanya lima persen saja pengunjung yang tercatat dari mancanegara.

Sudah jadi kebiasaan, pengunjung negeri sendiri gemar sekali berleha-leha di bawah pohon tinggi dengan beralaskan tikar. Malah, ada yang datang hanya untuk menikmati udara segar sambil makan bekal bersama keluarga. Habis itu leha-leha di bawah pohon nan rindang.

Kenyataan ini diakui Ir. Holif Immamudin, Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan KRC. ”Memang pengunjung yang peduli dengan informasi tumbuhan dan kebun jumlahnya tak sampai sepuluh persen.”

Perlu Dana
Anggapan hanya sebatas taman rekreasi tentu tak menguntungkan KRC. Padahal, sebagai balai konservasi tumbuhan KRC berpotensi mengembangkan ”jualannya”. Beragam obyek wisata yang dimiliki bisa didorong jadi primadona kawasan. Kalau lancar, dana yang terkumpul bisa menambal kas KRC. Kata Holif, dana rutin sebesar 2,4 milyar rupiah per bulan dirasakan terlalu minim untuk mengelola kebun seluas 125 hektare ini.

Belanja bulanan sudah habis sekitar 1,7 milyar rupiah, termasuk bayar listrik dan telepon sekitar 8 jutaan. Sisanya dialokasikan untuk menutup ongkos perawatan dan pemeliharaan kebun. ”Nah, bisa dibayangkan, mana cukup uang segitu buat merawat kebun,” timpal Didin Ahmad Nurdin, Kasubag Tata Usaha KRC.

Meski terasa kurang, Holif dan Didin masih punya harapan dalam mengelola kebun konservasi ini. Terlebih sejak tahun lalu status KRC telah naik jabatan, dari eselon IV ke eselon III. Alhasil, bila sebelumnya cabang balai saat ini menjadi Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan lewat SK Kepala LIPI No. 1017/M/2002. ”Adanya perubahan ini membuat kami jadi lebih mandiri.”
Untuk membuktikan ”kehebatan” KRC Didin dan Holif mengajak berkeliling sejumlah wartawan Ibu Kota beberapa waktu lalu. Awal perjalanan dimulai dengan melihat rumah bertingkat yang sudah dibangun dari zaman Belanda. Pada masa itu, rumah ini dipakai sebagai rumah administratur kebun.

Rumah ini disewakan kepada pengunjung yang tertarik menginap. Harganya, 800.000 perak dengan fasilitas, lima kamar, tv, water heater dan lainnya. Sedang untuk ransum, dipungut 35.000 per orang, makan ”berat” tiga kali dan kudapan dua kali.

Bunga Bangkai
Puas melongok bangunan yang pernah direnovasi pada 1946 -1947 ini, kami berjalan menuju tanaman Amorphophallus titanum. Sebagian wartawan memang sudah begitu ngebet pengen melihat tanaman langka ini. Apalagi Holif sudah banyak cerita kalau bunga tanaman ini akan mekar dalam waktu beberapa hari.
Amorphophallus titanum koleksi kebun yang baru saja berulang tahun ke 151 pada 11 April lalu, didapat dari eksplorasi di Danau Gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Tanaman ini diambil pada ketinggian 1450 meter dpl pada 9 Juni 2000. Dan ditanam pertama kali dalam bentuk umbi di Cibodas pada 26 Juni 2000.

Rencana ke depan, Holif dan kawan-kawan akan membangun taman khusus untuk Amorphophallus. Lokasinya sudah disiapkan, tak seberapa jauh dari rumah bertingkat. Ini yang bakal jadi primadona berikut KRC. ”Kakak” nya, Kebun Raya Bogor (KRB), saja tak punya kebun sejenis.

”Kami ingin taman khusus ini jadi point of interest dari wisatawan. Tentunya dikembangkan dengan basis konservasi yang dipadukan dengan nilai estetikanya,” jelas Holif. Selain taman Amorphophallus, juga akan dibangun taman Rhododendron, taman Medinilla, taman Sakura dan Sakura Avenue.

Rumah Kaca
Tujuan wisata berikutnya rumah kaca. Ada lima buah rumah kaca yang bisa ditemui, kaktus, sukulen, anggrek, penjualan tanaman dan persemaian. Untuk rumah kaca kaktus dan sukulen menampung 353 jenis. Koleksinya datang dari seluruh dunia, termasuk Agave, Dracaena, Sansevieria, Yucca dan Aloe.

Paling asyik melihat-lihat rumah kaca anggrek. Jangan bandingkan rumah koleksi anggrek Cibodas dengan rumah sejenis di KRB. Teknologinya memang jauh tertinggal. Tapi tidak untuk koleksinya. Anggrek yang ada di KRC, hampir semuanya berasal dari alam. Hanya ada sebagian kecil yang dihasilkan dari persilangan. Bila ditotal, ada 320 jenis anggrek yang mengisi rumah kaca.

Koleksi anggrek yang dimiliki mencakup jenis epifit (menempel di pohon) dan terestrial (hidup di atas tanah). Tarman Jodi, petugas pemelihara anggrek dengan bangga menunjukkan beberapa koleksi spesial, seperti Phalaenopsis amabilis (Maluku), Goelogyne panderata (Kalimantan), Paphiopedilum yogyae, Paphiopedilum javanicum, Dendrobium flox (Habema, Papua) dan Epigenium triflorum (Jambi).

”Tapi kenapa ya nggak banyak yang berbunga,” keluh salah seorang ibu. Soal itu, Tarman menjelaskan dengan sabar. Alasannya, anggrek koleksi KRC merupakan jenis asli dari alam, tentu dibutuhkan penanganan secara khusus. Lagipula masa berbunga anggrek alam tak pernah berbarengan dan tak terlampau sering ketimbang jenis hibrida.

Jalan-jalan keliling KRC ini sebetulnya bisa jadi paket jualan yang menarik. Dikemas dengan unsur pendidikan lingkungan yang kental dan bumbu permainan tentu pengunjung pun akan tertarik. Kreativitas memang jadi tuntutan. ”Kami sudah melakukan itu, namanya Repling, singkatan dari Rute Pendidikan Lingkungan. Tapi pesertanya masih terbatas dari siswa sekolah,” sebut Holif.

Penulis : Bayu Dwi Mardana
Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar: