Kamis, 04 April 2013

Sentra tas kulit, Cikutra



Untuk mencapainya harus melewati sebuah gang sempit di kawasan Cikutra. Dari salah satu rumah yang letaknya berdempetan inilah kerajinan tas kulit asal Bandung diproduksi untuk memenuhi permintaan ke berbagai kota di Indonesia.
Ruang tamu merangkap ruang pajang itu tidak terlalu luas. Di kiri dan kanan tembok terdapat rak-rak yang berisi deretan tas dengan pilihan warna beragam. Satu model tas biasanya terdiri atas tiga sampai empat warna.
Sekilas pandang, ruangan itu didominasi tas untuk perempuan. Meskipun ada beberapa pasang sepatu pria sebagai ”pemanis” yang diletakkan di rak paling bawah.
Memang, produk utama dari industri rumahan bernama ”House of Leather” (HoL) ini adalah tas wanita. Untuk pelancong yang senang bertandang ke Bandung, gerai milik Ade Kusmana ini sudah menjadi salah satu ”detewe”, alias daerah tujuan wisata. Mungkin karena kualitas produknya yang memadai dengan harga terjangkau. Samakan kulitnya halus, jahitannya rapi, dan modelnya trendi.
Datanglah pada jam makan siang. Ruang pajang itu mulai dipenuhi pengunjung yang semuanya ibu-ibu yang sedang menikmati jam istirahat kantor. Ada yang sekadar mencari tahu apakah produk terbaru sudah dikeluarkan, ada yang menagih pesanan, juga yang langsung melakukan transaksi selusin sekaligus. Mungkin untuk dijual kembali.
Sistem yang dipakai HoL adalah jual putus. Artinya, pembeli yang ingin menjual kembali, termasuk dengan menempelkan merek di tasnya, dipersilakan saja. ”Kami hanya menerapkan harga dasar, yang berkisar dari Rp 200.000 sampai Rp 600.000, tergantung model tas,” kata Deden Sudiana, salah satu karyawan House of Leather.
Sistem penjualan seperti itu membuat produk industri rumahan ini menjadi incaran sejumlah pebisnis ritel yang memiliki akses ke mal-mal di kota besar, ataupun yang memiliki gerai pribadi. ”Lha, saya aja tahunya dari adik saya yang di Pekanbaru. Dia membeli di sana harganya Rp 400.000 dan laku banget. Terus dia bilang pusatnya ada di Bandung. Harganya bisa separuhnya,” kata Yani, yang siang itu sibuk mengumpulkan tas model kantong dari bermacam warna.
Pembeli lainnya juga mengaku tas asal HoL ini bisa dihargai tiga sampai empat kali lipat bila sudah sampai di mal eksklusif ataupun gerai elite seperti yang ada di Jalan Kemang, Jakarta. ”Setiap bulan kami memasok untuk toko-toko di Citos (Cilandak Town Square), Mangga Dua, Tanah Abang. Juga ke Cirebon, Medan, dan Riau,” kata Deden.
Rantai panjang
Tas kulit cantik yang dipajang di rak itu memiliki perjalanan cukup panjang. Tengoklah ke salah satu rumah yang berada di sekitar gerai HoL. Di situ, para tetangga sedang sibuk memotong lembaran kulit sapi yang didatangkan dari Tangerang, Karawang, dan Cianjur. Sementara pekerja lainnya menggunting dan menjahit sesuai pola yang diminta. Di dalam satu rumah, biasanya ada tiga sampai empat perajin. Saat ini ada lima rumah yang dijadikan tempat produksi.
Para perajin di rumah Suneni siang itu serentak mengerjakan satu desain tas, sejenis tote bag. ”Kalau model seperti ini kebetulan tak sulit, apalagi bahan kulitnya lunak sehingga dalam sehari kita bisa mengerjakan selusin,” ujar Suneni, yang bertugas menjahit.
Para pekerja ini umumnya bekerja dari pukul 08.00 sampai pukul 19.00. Upah yang diperoleh untuk pemotong adalah Rp 40.000-Rp 60.000 per lusin tas jadi. Adapun untuk penjahit sekitar Rp 200.000 per lusin tas jadi.
”Kalau sedang ramai, seminggu bisa dapat Rp 500.000 dan anak-anak (pemotong kulit) sekitar Rp 150.000. Lumayanlah, yang penting bisa makan,” kata Suneni yang memiliki tiga anak, dari yang berpendidikan TK sampai STM.
Setiap harinya para perajin ini memperoleh uang makan Rp 15.000 per orang, sementara untuk akomodasi mereka bisa tinggal di rumah Suneni. ”Kalau ada yang sakit, kami dikasih uang untuk berobat,” tuturnya.
Model tas yang diproduksi HoL biasanya terinspirasi dari berbagai jenis tas yang ada di majalah-majalah wanita. Namun, banyak juga pembeli yang membawa contoh jadi dan kemudian minta dibuatkan replikanya.
Suneni, misalnya, menunjukkan contoh gambar yang harus dikerjakannya. ”Dari semua proses ini, yang paling sulit adalah menjahit dengan benang besar, terutama untuk tas yang bentuknya kotak karena jahitan harus terjaga rapi meskipun bidangnya melengkung,” kata Suneni yang mengaku kontrol kualitas produk cukup ketat. ”Pernah juga tas yang kami produksi dikembalikan,” katanya.
Tertolong PKBL
House of Leather mulai memproduksi tas kulit untuk keperluan perorangan pada 1990-an. Pada awalnya, produksi tas hanya mengikuti order yang diminta oleh toko-toko tas di Bandung.
Kemudian, selama dua tahun HoL bekerja sama dengan sebuah toko tas di Bandung dengan cara konsinyasi (titip jual). Namun, tahun 1997-1998 krisis keuangan melanda Indonesia. Produksi pun berhenti.
HoL yang masih memiliki bahan baku kulit kemudian kembali melayani pesanan tas individual. ”Kebetulan kami punya ruangan sedikit di sini, ya, sudah dijadikan saja show room,” kata Deden.
Untunglah tahun 1999 HoL memperoleh bantuan modal dari Pertamina lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan menjadi mitra binaannya sampai sekarang.
”Selain modal, kami juga dibantu promosi. Hasilnya beda banget. Di tahun pertama saja kami sudah diajak mengisi pameran di Inacraft. Dari sana nama kami mulai dikenal. Order pun meningkat, terutama dari kalangan Dharma Wanita,” lanjut Deden.”
Kini, dalam sebulan HoL bisa menjual rata-rata 100 sampai 150 tas. Pesanan akan melonjak menjelang bulan puasa, bisa sampai 300 tas. Sementara omzet per bulan rata-rata mencapai Rp 20-30 juta. ”Kalau menjelang Ramadan, bisa mencapai Rp 50 juta, tetapi tidak pernah lebih dari itu,” ungkapnya.

Tidak ada komentar: