Masing-masing
kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap
Go Meh ini. Di Jawa terutama, dikenal dengan menyajikan hidangan khas
lontong cap go meh. Sementara di Kalimantan, mungkin Night dan Meazza
sendiri bisa menceritakan lebih detail. Di Medan juga lain lagi,
sembahyang di kelenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh ini.
Kemudian disambung dengan atraksi barongsai, dan lontong cap go meh
sendiri sudah mulai menyebar di beberapa bagian di Nusantara ini. Bahkan
makanan ini sudah jadi paten namanya di mana-mana, menu di resto,
warung, bahkan foodcourt di mall-mall akan seragam semua namanya:
“lontong cap go meh”, padahal dimakan setiap saat, bukan pas cap go meh.
Sepengetahuan saya, di Kalimantan perayaan Cap Go Meh tidak dengan
menyajikan makanan ini.
Semua referensi baik buku kuno, sejarah Semarang, situs-situs kuliner,
Google dibolak-balik, Wikipedia ditelusuri, tapi tidak ada satu pun yang
menceritakan sejarah atau asal usul lontong cap go meh. Semua website
hanya menampilkan sajian lontong cap go meh dan pernik-perniknya. Saya
mencoba untuk menebak dan mengira-ngira latar belakang asal usul lontong
cap go meh.
Jejak langkah imigran pertama dari China diperkirakan hampir sama tuanya
di Nusantara ini, tapi jejak langkah aktifitas dan peninggalan orang
Tionghoa di Indonesia, diperkirakan di kisaran tahun 1400’an. Laksamana
Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut catatan sejarah singgah
ke berbagai kota di Indonesia ada sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari
yang ilmiah oleh Gevin Menziez: 1421 The Year China Discovered The
World, sampai yang fiksi sejarah Remy Sylado: Sam Po Kong, menunjukkan
bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus
tanpa adanya paksaan, tanpa adanya “program pembauran”, tanpa adanya
politik dsb.
Pembauran
ini alamiah, wajar dan manusiawi. Umumnya para perantau ketika itu,
mulai dari panglima pemimpin rombongan pasukan perdamaian, sampai dengan
jongos kapalnya 99,9% jelas laki-laki. Seperti banyak diketahui bahwa
Laksamana Cheng Ho sendiri (yang kemudian dikenal sebagai Sam Po Kong)
adalah seorang kasim alias sida-sida (orang kebiri) kerajaan Ming, orang
kepercayaan Kaisar Yong Le. Dengan mayoritas laki-laki, pada masa itu
(juga sekarang rasanya), jamak jika singgah atau berlabuh di satu negeri
asing nun jauh di antah berantah, mereka berusaha menyalurkan insting
alaminya, baik dengan cara “quick & short” ataupun “long term
relationship”. Sebagian dari para awak kapal muhibah ini ada yang
tinggal karena membangun rumah tangga dengan penduduk setempat, ada yang
terpaksa tinggal karena sakit (seperti jurumudi Laksamana Cheng Ho,
yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Juru Mudi yang juga dihormati di
Kelenteng Sam Po Kong Semarang sampai sekarang), ada yang karena
pesakitan alias residivis yang memilih melarikan diri, membaur dengan
penduduk setempat daripada dibawa pulang ke China untuk menjemput
kematian karena hukuman mati Kaisar.
Dengan berbagai latar belakang ini, dipercaya berbagai sumber sejarah,
bahwa perkembangan pendatang dari China ini awalnya dimulai di pesisir
pantai utara Jawa. Pasukan dan awak kapal yang dibawa oleh Laksamana
Cheng Ho juga terdiri dari berbagai jenis manusia, agama, budaya dan
pendidikan. Agama yang mayoritas di rombongan besar Laksamana Cheng Ho
ketika itu adalah agama Buddha sementara pemimpin tertinggi alias
panglimanya si Laksamana Cheng Ho adalah pemeluk Islam yang taat, dan
menurut sumber-sumber sejarah, beliau ini sudah menuntaskan kewajiban
haji. Karena berbagai jenis latar belakang inilah, maka pembauran
dengan penduduk setempat yang ketika itu masih kental sekali animisme,
dinamisme, dan Kejawen’nya berjalan dengan lancar. Penyebaran pertama
Islam di pulau Jawa dipercaya sudah dimulai di masa itu, jauh sebelum
Wali Sanga, demikian juga berdampingan dengan Islam, agama Buddha juga
berkembang dengan subur di bumi Nusantara.
Perayaan
Imlek sendiri mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa
sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh, dan menyenangkan. Adaptasi
berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan
segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain seiring
dengan pembelajaran mereka sendiri dengan kebiasaan setempat. Termasuk
rangkaian dalam setahun menurut penanggalan Imlek diperkenalkan dan
disesuaikan dengan kebiasaan penduduk setempat. Mulai dari hari pertama
Sincia atau Imlek, yang aslinya dari China adalah perayaan menyambut
musim semi (??), tapi karena di negeri tropis yang tidak akan pernah
mengalami “winter”, nama chun jie (baca: juen cie, menyambut musim semi)
tidak pernah dikenal dalam menyebut perayaan Tahun Baru Imlek. Yang
dikenal adalah “Imlek” atau “Sincia”. Demikian juga dengan penutup
rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini yang di tempat asalnya disebut
dengan Yuan Xiao Jie (???, baca: yuen siau cie) tidak pernah dikenal di
Indonesia, karena pemaknaan yang sedikit berbeda, apalagi tidak akan
pernah dikenal dengan nama Shang Yuan Jie (???, baca: shang yuen cie).
Untuk menyederhanakan sebutan, di kemudian hari kemudian disebut dengan
Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian, yang artinya “malam ke 15”
alias malam bulan purnama menurut penanggalan Imlek. Sederhana, gampang
diingat dan mudah dipahami oleh semua orang, dibanding dengan sarat dan
dalamnya makna serta cerita di belakang nama “resmi” Yuan Xiao Jie.
Perayaan aslinya sendiri yang menggunakan makanan simbolis (??) atau
ronde, yang menyimbolkan kerageman (kesatuan) keluarga, karena terbuat
dari tepung ketan. Menurut perkiraan saya, pada masa itu, mungkin saja
beras ketan sudah dikenal di masyarakat luas (note: sampai dengan
tulisan ini ditulis belum pernah diadakan penelitian pola makan,
makanan, ataupun budaya makan di masa abad 14-16 di Nusantara ini,
khususnya di Jawa). Walaupun demikian, makanan yang terbuat dari beras
ketan ditumbuk kemudian dibulatkan sehingga kenyal rasanya akan terlihat
aneh bagi penduduk lokal.
Untuk mengakrabkan dan memperlancar proses asimilasi, para pendatang ini
berkreasi dengan makanan pokok yang sudah ada sejak dulu kala yaitu
beras nasi. Untuk menggenapkan dan memenuhi persyaratan menyambut bulan
purnama dibuatlah lontong yang berbentuk bulat juga. Teknik membuat
lontong ini dipercaya diadaptasi dari teknik pembuatan bakcang/kicang
yang sudah ada ribuan tahun. Untuk pelengkap hidangan tadi sekaligus
untuk menghormati Laksamana Cheng Ho yang seorang Muslim, dikreasikan
lagi pendamping lontong tadi dengan “sup” ayam modifikasi dan silang
budaya antara pendatang dan penduduk asli, menggunakan rempah-rempah
yang memang sudah ada dan digunakan sejak lama di bumi Nusantara ini,
ditambahkan santan, dsb, bisa jadi inilah asal mula masakan opor.
Sampai saat ini, tidak ada satupun peneliti kuliner dan referensi yang
bisa menjelaskan “opor ayam” itu berasal dari mana, sejak kapan ada di
Indonesia, siapa penemunya, siapa peramu awalnya, mulai kapan menyebar
hampir di seluruh wilayah Nusantara, tidak seorangpun yang tahu, hanya
disebutkan “resep warisan leluhur”. Praduga inipun hanya berdasarkan
imajinasi saya sendiri, didasari beberapa referensi baik ilmiah maupun
fiksi ilmiah, sehingga tulisan ini lebih merupakan fiksi ilmiah daripada
suatu hasil penelitian ilmiah yang sahih dan akurat.
Full set dari lontong cap go meh yang terdiri dari lontong, ayam opor,
ayam abing (akan dijelaskan lebih lanjut), sambel goreng ati ampela,
lodeh terong/labu, telor pindang, bawang merah goreng dan bubuk dokcang
(tidak terlihat dalam foto, akan dijelaskan terpisah juga).
Seperti diuraikan di atas, secara simbolis, lontong menggantikan sajian “resmi” di negeri asalnya yaitu yuanxiao alias ronde.
Melambangkan bulan purnama yang bulat bundar, melambangkan kebulatan dan
kebersihan hati dari warna putih yang dihasilkan dari bahannya.
Dari warnanya jelas terlihat kuning. Sebenarnya opor di Jawa terdiri
dari 2 macam, opor putih dan opor kuning. Opor putih di sini lebih
banyak diminati oleh kalangan emak-emak (sebutan), yaitu para wanita
Tionghoa yang sudah membaur dengan kebiasaan setempat mengenakan baju
kurung (bukan kebaya) dan sarung selayaknya penduduk setempat.
Penampilan unik ini hanya ada di Jawa. Inilah yang disebut emak-emak
atau golongan Tionghoa babah. Sebutan Tionghoa babah adalah golongan
yang sudah berasimilasi dan berbaur dengan penduduk lokal, sementara
Tionghoa totok adalah golongan yang baru datang dari China dan belum
berbaur.
Sementara opor kuning, biasa dimasak oleh penduduk asli dengan
menambahkan kunyit, dengan alasan “luwih ayu” (lebih cantik), tidak
pucat dan lebih menyehatkan badan karena kunyit sebagai penyeimbang
santan. Seperti diketahui bahwa fungsi kunyit sangat baik untuk
kesehatan tubuh.
Makna warna kuning diasosiasikan dengan emas, yang berkonotasi
kemakmuran dan kemakmuran. Saya pribadi lebih suka opor kuning, yang
memang terlihat lebih cantik dan rasanya lebih “sedep”.
Warna merah mencorong sambel goreng ati ampela dengan jelas menyiratkan
warna wajib perayaan Imlek dan segala sesuatu yang dipercaya oleh orang
Tionghoa.
Jelas sekali bahwa makanan ini adalah lintas budaya asimilasi yang
melebur total karena jelas di China tidak ada masakan seperti ini, dan
mayoritas masyarakatnya tidak meyukai pedas, apalagi masakan dengan
banyak rempah dengan rasa dan aroma yang tajam seperti sambel goreng.
(Terkecuali beberapa wilayah di China yang memang akrab dengan pedas,
seperti Sichuan, dan itupun tidak menggunakan santan dan rempah seperti
masakan khas ini. )
Jelas juga bahwa telor di manapun juga melambangkan rejeki, murah rejeki, kemakmuran, harapan baik, segala sesuatu yang baik.
Pemasakan telor pindang ini juga khas Indonesia, lebih spesifik lagi di
Jawa, dengan daun jati atau rempah lain yang menghasilkan telor pindang
nikmat yang gempi (apa ya bahasa Indonesia’nya?).
Memang telor “pindang” juga ada di China, tapi namanya telor teh alias
cha ye dan (???, baca: ja ye tan), yang memiliki penampakan yang mirip,
telor kecoklatan nikmat. Walaupun aroma dan rasa yang berbeda sama
sekali.
Ini pelengkap dari hidangan ini semua, warna putih, dengan labu atau
terong sebagai sayurnya, melambangkan harapan baik juga, labu atau
terong, suatu harapan dan cita-cita yang baik, warna putih yang
menyiratkan lembaran baru di tahun yang baru.
Perbedaan terong dan labu hanya perbedaan daerah saja. Di Semarang,
lebih suka labu atau jipang, sementara di Jakarta lebih suka terong.
Ini sangat spesifik dan khas hanya ada di Semarang, ada juga yang
menyebutnya “sate abing”. Abing sendiri dari bahasa Jawa yang
menggambarkan warna merah yang sangat merah, warna merah dalam bahasa
Jawa disebut “abang”, dan sangat merah disebut “abing”. Masakan ini
kalau boleh saya sebut nama lainnya bisa juga disebut “opor merah” (ini
istilah saya saja lho).
Pembuatan
yang lebih rumit dari opor biasa, karena harus menggunakan kelapa parut
yang disangrai sampai kering dan kecoklatan yang kemudian digiling
sehingga menghasilkan cairan kental warna merah tua kecoklatan. Cairan
kental merah kecoklatan ini sebagai pengganti santan dalam memasak “opor
merah” ini, sementara semua bumbunya sama persis seperti bumbu opor
(minus kunyit, supaya warna merah tua terjaga).
Rasanya bagaimana?
Hanya orang Semarang yang mungkin bisa menggambarkannya. Walaupun saya
juga cukup yakin bahwa mungkin banyak di antara KoKiers yang sudah
pernah merasakannya. Sepengetahuan saya, ayam abing ini tidak didapati
di daerah lain.
Sesuai namanya yang “sangat merah” menyimbolkan makna yang sama dengan
sambel goreng ati tadi di atas, warna khas perayaan Imlek, dan masakan
ini merupakan kemewahan tersendiri di saat menyambut Tahun Baru Imlek.
Terlebih lagi tidak banyak orang yang bisa membuat ayam abing dengan
benar dan menghasilkan masakan yang sedap. Sementara nama lain “sate
abing” adalah warna kecoklatan yang diasosiasikan dengan bumbu sate.
Kelapa Sangrai
Bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak ada fotonya), sebagai
pelengkap dan penyedap dari hidangan khas ini. Bubuk dokcang terbuat
dari kedelai yang disangrai dicampur dengan sedikit kaldu (Maggi atau
merek lain) dan kemudian digiling halus sampai jadi bubuk kecoklatan.
Semoga uraian singkat ini dapat bermanfaat dan menjadi titik awal
penelitian dan penelusuran selanjutnya mengenai asal-usul lontong cap go
meh yang nikmat ini. Saking nikmatnya dan sudah menjadi salah satu
kuliner khas Nusantara, sampai-sampai namanya pun melekat erat dan
menjadi trade mark yang dapat disantap kapanpun, di manapun juga.
Bagi pembaca di luar Indonesia, harap jangan sampai ngiler atau ngeces,
kalau setelah membaca ini kemudian homesick menghebat, iler ketes-ketes
(air liur netes-netes), tolong jangan timpuki saya ya.....hehehe.....
Terima kasih sekali lagi sudah mau membaca cerita ngalor ngidul saya
ini, yang berusaha menulis “fiksi sejarah” mengingat sangat terbatasnya
referensi mengenai makanan lontong cap go meh ini.
Penulis : Josh Chen - Global Citizen
Photo by: Josh Chen