Dulu Tukang Becak, Kini
Punya 10 Mobil dan 2 Pabrik,
Bertahun-tahun lamanya Sanim menggantungkan nasib pada sebuah becak yang
dimilikinya. Kini nasibnya berubah, ia menjadi jutawan dengan dua pabrik, tiga
rumah, 10 mobil, dan dua kali haji dari usahanya itu.
Sanim (60) merupakan seorang
pengusaha asal Desa Rawa Urip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa
Barat. Ia menjadi salah satu contoh warga yang berhasil keluar dari garis
kemiskinan.
Dua usaha yang ia jalani saat ini
ialah pabrik pembuatan garam dan pupuk organik. Namun, nama Sanim lebih dikenal
sebagai pengusaha garam ketimbang pengusaha pupuk organik.
“Sekarang saya punya 10 mobil, tiga
di antaranya mobil pribadi tipe Daihatsu Taruna, Honda Jazz, dan mobil pertama
ketika saya beli tahun 1997, yaitu Daihatsu Espass, bangga sekali saya saat
itu. Sisanya mobil angkut produksi, seperti Fuso,” ujar bapak empat anak ini,
saat ditemui Kompas.com di acara peluncuran buku kewirausahaan Rhenald Kasali
di Gedung WTC, Jakarta Kamis (5/7/2012).
Adapun beberapa jenis garam yang
diproduksi ialah jenis garam grosok (garam non-yodium masih berbentuk butiran
besar dan kasar, biasanya dipakai untuk budidaya dan pengawetan ikan), garam
dapur (konsumsi), dan garam industri untuk pabrik tekstil.
Sementara jenis pupuknya, yakni
organik tipe KCL (kalium clorida), fungsinya meningkatkan unsur hara kalium di
dalam tanah budidaya.
Kemampuan produksi kedua pabriknya,
Samin mengaku, dalam setahun mampu memproduksi masing-masing 2.000 ton baik
garam maupun pupuk organik.
“Oh kalau barang jadinya, itu mah
(harga jual) rahasia perusahaan, Mas. Yang penting perhitungan saya ini ada
lebihnya gitu. Saya tidak tahu kiranya berapa, tapi tahun kemarin bersih
minimal mencapai Rp 400 juta per tahun,” tuturnya sambil tertawa.
Menimba ilmu dari pabrik garam
Sanim menceritakan, pada awalnya
ketika masih sebagai tukang becak, ia sering mangkal di persimpangan Jalan
Cirebon. Di tempatnya mangkal, berdiri sebuah pabrik garam yang cukup besar.
Sanim pun tertarik untuk melamar
kerja di pabrik tersebut, dengan harapan nasibnya bisa lebih baik. Beruntung,
Ia diterima bekerja di situ.
“Setelah dua bulan bekerja, saya pun
berpikir, daerah kita kan punya potensi garam, loh kenapa saya tidak bisa
membuat garam sendiri,” ungkapnya.
Akhirnya, Sanim berhenti kerja dari
pabrik garam tersebut. Di situlah ia mulai berpikir, usaha garam ternyata mampu
mengeruk keuntungan yang lebih besar dari buruh pabrik, apalagi tukang becak.
Baginya, garam bukan hanya sebagai
bumbu penyedap makanan, melainkan juga dibutuhkan untuk keperluan industri,
pertanian, dan perikanan. Ternyata, tidak sia-sia pernah bekerja di pabrik
garam. “Jadi bisa dikatakan cuma menimba ilmu di pabrik tersebut,” tuturnya.
Ilmu yang diperolehnya ialah cara
membuat garam krosok. Sanim pun menggarap empang peninggalan orang tuanya yang
berada di belakang rumahnya untuk mencoba membuat garam.
“Alhamdulillah, lama-lama usaha saya
berkembang, sampai yang awalnya usaha di halaman belakang rumah, lalu
berkembang dan kita bisa membeli tanah untuk tempat produksi yang lebih luas
lagi,” ujar Sanim, yang mampu mengantarkan keempat anaknya meraih gelar sarjana
ini.
Petani garam umumnya memanfatkan
empang atau kolam di dekat pantai. Caranya, dengan mengumpulkan air laut ke
dalam empang. Lalu, dengan bantuan sinar matahari, air laut yang terkumpul
tersebut akan menguap dan menghasilkan kristal-kristal bersenyawa Natrium
clorida (NaCl).
Kristal NaCL itu dikumpulkan oleh
petani, lalu dibersihkan berulang kali dari kotoran yang melekat hingga menjadi
butiran halus dan kecil, tetapi non-yodium.
Itu dulu, tetapi kini, selain
memproduksi sendiri garam krosok, ia juga membelinya dari petani garam di
sekitar Cirebon. Dengan kisaran harga beli sekitar Rp 400 per kilogram.
Harga belinya murah disebabkan garam
yang diterima masih sangat kotor dan berwarna hitam. Kemudian ia cuci kembali
dengan alat seadanya.
Akhirnya, Ia memutuskan untuk
membeli alat pencuci khusus garam krosok seharga Rp 20 juta-an. Lebih efisien,
dan garam krosok bisa dibersihkan dengan cepat. Ia pun menjual garam itu ke
industri, pertanian, dan perikanan.
Namun, Sanim enggan menyebut berapa
harga jual garamnya. Di beberapa iklan promosi yang beredar di internet, harga
jual garam krosok bersih bisa mencapai Rp 810.
Peralatan produksi garamnya pun masih
menggunakan mesin tradisional. Menurutnya, ini warisan budaya setempat. Lagi
pula, ia menganggap mesin tradisional lebih tahan lama dan tidak menimbulkan
suara bising ketimbang mesin modern berbahan besi.
Mesin tradisional inilah yang
digunakan Sanim untuk mengolah garam krosoknya menjadi garam beryodium dan bisa
dikonsumsi oleh masyarakat.
“Kalau barang, jualnya habis-habis
terus, tak pernah berkurang. Karena pemasaran banyak sekali setelah garam
beredar,” ungkapnya.
Memanfaatkan KUR
Lambat laun, Sanim pun mulai
berpikir untuk mengembangkan usaha lebih besar lagi dari yang ia jalani
sekarang. Pada 2010, ia memutuskan untuk menggunakan fasilitas Kredit Usaha
Rakyat (KUR) yang disediakan perbankan BUMD Jawa Barat, yakni Bank Jabar Banten
(BJB).
Sebelumnya, ia hanya memanfaatkan
jasa bilyet giro Bank BJB untuk bertransaksi dengan pembeli luar kota. “Kita
pernah mengajukan utang pinjaman ke Bank BCA, tapi waktu itu ditolak. Setelah
itu akhirnya kita ke bank BJB. setelah diproses dan melihat prospek perkembangan
usaha kita, akhirnya kita dapat dana,” katanya bercerita saat kesulitan
memperoleh dana usaha.
Untuk menghasilkan 2.000 ton garam,
paling tidak Sanim harus mengeluarkan biaya produksi sebesar Rp 1 miliar. Untuk
itu, ia sangat membutuhkan suntikan dana bank untuk memperlancar arus
produksinya.
Ia mengaku tidak pernah mengalami
kredit macet selama meminjam ke bank. “Ke depannya nanti saya akan meminjam
kembali ke Bank BJB sebesar Rp 500 juta. Kepenginnya saya balikin sekitar 1
tahun,” katanya.
Sementara itu, ditemui Kompas.com di
tempat yang sama, Dirut Bank BJB Bien Subiantoro mengatakan, bank yang
dipimpinnya itu memberikan akses kemudahan bagi para pengusaha mikro melalui
jalur KUR.
Salah satu langkah BJB ialah
meluncurkan suatu program bernama “Warung BJB”. Warung tersebut semacam bank
keliling khusus untuk menyalurkan pembiayaan usaha mikro.
Kini, 430 Warung BJB tersebar di
pasar-pasar tradional di beberapa wilayah Jawa Barat dan Banten.
Khusus kredit (KUR) kita masih fokus
di Jawa Barat dan Banten. Ini karena untuk menyalurkan kredit, kita harus tahu
dulu customer-nya.
Dirinya mengklaim, pengusaha mikro
tidak perlu lagi berpikir ribetnya proses birokrasi pengajuan dana KUR.
Biasanya, lanjut Bien, pengusaha
mikro yang datang ke BJB untuk mengajukan KUR didiskusikan terlebih dahulu,
bank pun bisa langsung mencairkan dananya. Asalkan pengusaha punya tempat usaha
tetap.
“Kita memberi dana mulai paling
kecil yakni Rp 2 juta hingga yang paling besar sampai Rp 50 juta. Begitu
tumbuh, lalu kita naikkan kembali levelnya sampai RP 100 juta. Lalu begitu
tumbuh lagi, kita naikkan kembali level pinjamannya. NPL-nya (kredit
bermasalah) pun kecil, hanya empat persen (maksimal lima persen) untuk mikro,”
kata Bien, yang pernah menjabat Direktur Treasury dan Internasional Bank BNI
ini.
Rhenald Kasali tentang Sanim
Guru Besar FEUI sekaligus penggiat
Rumah Perubahan kewirausahaan Rhenald Kasali mengatakan, banyak sekali orang
yang menjadi tukang becak selama 20 tahun dan bahkan hingga akhir hayatnya.
“Tapi Pak Sanim berubah, justru Pak
Sanim melihat dirinya ada potensi. Dan sekarang Pak Salim menjadi pengusaha
besar di bidang garam. Ketika sebagian besar orang justru ingin impor garam.
Pak Sanim berkutat untuk menyelamatkan garam Indonesia. Jadi ini salah satu
contoh,” ungkapnya pada sambutannya di peluncuran buku terbarunya tentang
kewirausahaan.
Rhenald menyebut Sanim dan pengusaha
mikro sejenis adalah para “pengusaha cracking”. Para pengusaha yang awalnya
bukan dari kalangan keluarga pengusaha, tetapi mereka nekat keluar dari
kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar